PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia tidak bisa hidup ndengan
sehat tanpa adanya hukum atau aturan yang dipatuhi, samahalnya dengan hukum
bisnis. Didalam berbisnis ada pula hukum-hukum yamg mengatur untuk d patuhi.
Banyak hukum yang mengatur di negara
Indonesia ini, misal hukum masyarakat, kuhum negara, hukum agama dan lain
sebagianya.
Pertumbuhan hukum yang ada di negara
ini mengikuti zaman atau berubah sesuai kebutuhan, hukum tidaknya selamanya
tetap.
Hukum dalam berbisnis sangat banyak,
namun dimakalah ini akan membahas mengenai pertumbuhan hukum bisnis islam di
Indonesia ditinjau dari UU perbankan No. 10 Tahun 1998 dan UU perbankan No. 21
tahun 2008.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana Eksistensi Perbankan Indonesia ?
- Bagaimana Hukum Berdasarkan Prinsip Agama Islam ?
3.
Bagaimana Bank Berdasarkan Prinsip Syariah ?
4.
Bagaimana Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah ?
C. Tujuan Penulisan
- Supaya Mahasiswa mengetahui eksistensi perbankan Indonesia.
- Supaya Mahasiswa memahami Hukum Berdasarkan Prinsip Agama Islam.
- Supaya Mahasiswa mengetahui Bank Berdasarkan Prinsip Syariah.
- Supaya Mahasiswa mengetahui Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Perbankan Indonesia
Perekonomian merupakan tata
kehidupan yang mempunyai peran fundamental terhadap kelangsungan hidup suatu
negara beserta rakyatnya, baik negara berkembang maupun negara maju. Sistem
perekonomian negara ikut menentukan taraf hidup masyarakatnya. Salah satu
pemegang peranan penting dalam sistem perekonomian adalah perbankan, yaitu
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam menjalankan kegiatan usahanya.[1]
Berdasarkan definisi tersebut, maka perbankan dapat dikatakan sebagai suatu
sistem yang menjadi wadah perputaran uang dalam negeri maupun antar negara.
Perkembangan signifikan hukum
perbankan terjadi pada era 90-an yang ditandai dengan berlakunya hukum
perbankan babak baru, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Namun undangundang tersebut tidak bertahan lama secara utuh karena pada tahun
1998 diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sehingga saat ini yang
dimaksud dengan undang-undang perbankan adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998. Perubahan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut
dilatarbelakangi oleh perkembangan perekonomian nasional dan diratifikasinya
beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa,
sehingga diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk
undang-undang bidang perbankan.
Secara umum kegiatan perbankan
adalah menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat. Penghimpunan
dana dari masyarakat biasa disebut dengan simpanan ataupun tabungan yang
diberikan bunga sebagai tambahan dari jumlah dana yang dihimpun tersebut.
Begitupula dengan penyaluran dana kepada masyarakat, misalnya melalui pinjaman,
diberikan dengan adanya ketentuan mengenai bunga dari pengembalian pinjaman
dana. Kegiatan yang meliputi pemberian bunga semacam itu tidak sesuai dengan
hukum Islam yang disebut dengan Riba, yaitu larangan dalam agama Islam untuk
memungut maupun meminjam dengan bunga. Riba menurut pengertian bahasa berarti
Az-Ziadah (tambahan), yang dimaksud dalam Fiqih adalah tambahan atau modal,
baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.[2]
Dalam rangka menghormati mayoritas
warga negara Indonesia yang menganut agama Islam, maka pemerintah berinisiatif
untuk menerapkan prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan perbankan
dengan cara mencantumkan ketentuan mengenai syariah pada beberapa peraturan. Penerapan
prinsip syariah telah tampak pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yaitu dengan memberikan peluang pada bank untuk melakukan
kegiatannya dengan prinsip bagi hasil. Namun ketentuan tersebut ditegaskan
kembali pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan menambahkan pada beberapa
bagian dari isi undang-undang mengenai pelaksanaan kegiatan perbankan dengan
prinsip syariah. Sejak saat itu terbentuklah 2 (dua) macam sistem perbankan
dalam dunia perbankan Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan
syariah.
B. Hukum Berdasarkan Prinsip Agama Islam
Hukum merupakan norma-norma yang
hidup di masyarakat dan menjadi pedoman hidup masyarakat tersebut, dapat berupa
buatan manusia atau berasal dari Tuhan. Hukum yang berasal dari Tuhan disebut
dengan hukum agama, yang terbagi menjadi beberapa agama di seluruh dunia. Salah
satu hukum agama yang diakui adalah hukum Islam. Hukum Islam menurut Ahmad
Sukardja[3]
adalah peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku mukallaf[4]
yang diakui dan berlaku serta mengikat bagi semua pemeluk Islam. Sumber hukum
Islam terdiri atas 3 (tiga) macam yang saling berkaitan, yaitu Al-Quran,
Al-Hadis, dan Ijtihad.[5]
Berdasarkan definisi tersebut, hukum
Islam bersumber dari dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agam
Islam, yang terdiri dari Akidah, Syariah, dan Akhlak, dimana secara formal
hukum Islam merupakan salah satu tiang penegak agama Islam yaitu sisi Syariah.[6]
Hukum perikatan Islam merupakan
bagian dari hukum Islam yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan
hubungan ekonomi dan perdagangan. Salah satu konsep perikatan dalam hukum Islam
adalah akad, yaitu salah satu cara memperoleh harta dalam hukum Islam yang
banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata “akad” berasal dari bahasa Arab
al-Aqdun yang berarti ikantan atau simpul tali. Dalam terminologi hukum Fiqih,
akad berarti perikatan antara ijab (penawaran) dengan kabul (penerimaan) secara
yang dibenarkan syara’ (hukum Islam), yang menetapkan keridhaan (kerelaan)
kedua belah pihak.[7]
Secara garis besar pengelompokan jenis-jenis akad yang relevan dengan kegiatan
perbankan terbagi menjadi 2, yaitu menurut tujuan dan keabsahannya.[8]
Menurut tujuannya, akad tabaru (akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharapkan ridho dan pahala dari Allah, tanpa unsur
mencari “return” atau motif) dan akad tijari (dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya).
Menurut keabsahannya, akad sahih (yang memenuhi semua rukun dan syarat); akad fasid
(semua rukun terpenuhi tetapi ada syarat yang tidak terpenuhi); dan akad bathal
(salah satu rukum tidak terpenuhi dan otomatis syarat jufa tidak terpenuhi).
C. Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
Kemunculan warna baru dalam sistem
perbankan Indonesia, yaitu perbankan syariah, didasari oleh Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Prinsip bagi hasil dalam
undang-undang tersebut dipertegas oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan)
menjadi prinsip syariah. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 1992
tentang bank umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1998, Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun
1992 tentang bank perkreditan rakyat, dan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun
1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
UU Perbankan tidak memberikan
definisi perbankan syariah maupun bank syariah, tetapi terdapat definisi
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan prinsip syariah. Pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah[9]
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil, sedangkan yang dimaksud dengan prinsip
syariah[10]
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiata usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoelh keuntungan (murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pengertian perbankan syariah secara
yuridis dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (UU Perbankan Syariah), yaitu segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.[11]
Begitu pula dengan pengertian bank syariah yaitu bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank
umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.[12]
Perbedaan utama antara bank
konvensial dengan bank syariah terletak pada prinsip bunga dan prinsip bagi
hasil. Perbandingan sistem bunga dan prinsip bagi hasil dapat dilihat pada
tabel berikut ini.[13]
Tabel 1. Perbandingan Prinsip Bunga dan Prinsip Bagi Hasil
No.
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
1
|
Penentuan
bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan orientasi hasil objek yang
dibiayai
|
Penentuan
bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian berdasarkan laba rugi objek yang
dibiayai
|
2
|
Dihitung
berdasarkan nilai kredit yang diberikan
|
Dihitung
berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh
|
3
|
Pembayaran
bunga tanpa mempertimbangkan apakah proyek yang dilaksanakan untung atau rugi
|
Bila terjadi
kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan porsi modal
|
4
|
Perolehan
bunga yang diterima bank bersifat tetap, meski keuntungan berlipat ganda
|
Jumlah bagi
hasil meningkat seiring peningkatan keuntungan yang diperoleh
|
5
|
Diharamkan
oleh agama Islam sebagai bentuk dari Riba
|
Dihalalkan
oleh agama Islam
|
Kegiatan perbankan syariah pada
dasarnya sama seperti bank konvensional, yaitu dapat berupa bank umum maupun
bank perkreditan/pembiayaan rakyat. Pengawasan terhadap kegiatannya juga sama,
yaitu dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank umum syariah adalah bank syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan bank
pembiayaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[14]
Penyebutan bank syariah bagi sebagian orang ditempatkan sebagai bank Islam,
seperti definisidefinisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum dalam sebuah
artikel oleh Dian Ediana Rae, sebagai berikut[15] :
1.
Karnaen
Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio “Bank Islam adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam
beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut
tata cara bermuamalat secara Islam”.
2.
Warkum
Sumitro “Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada
tata cara bermuamallah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits”
3.
Cholil
Uman “Bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya
menurut hukum Islam”.
Fokus pada perbankan syariah adalah
berdasarkan prinsip syariah. UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah memberikan
definisi “prinsip syariah” yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Prinsip
syariah yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU Perbankan adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pengertian prinsip syariah pada
Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Persamaan makna pada kedua
definisi tersebut yaitu berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum
Islam.
Berdasarkan definisi-definisi
tersebut, maka perbankan syariah merupakan usaha perbankan yang menjalankan
kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum Islam dan tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan pelaksanaan ajaran agama Islam dalam kehidupan.
D. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Selain pengaturan mengenai kegiatan
umum perbankan syariah, penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah juga
diatur dalam beberapa peraturan tersebut. Dasar hukum utama mengenai pedoman
penyelesaian sengketa ini terdapat pada Pasal 55 UU Perbankan Syariah yang
menyatakan bahwa:
1.
Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
2.
Dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3.
Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Ketentuan ayat (1) dan (2) tersebut
menegaskan bahwa penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dapat dilakukan
melalui 2 (dua) jalur, yaitu jalur peradilan agama dan non-peradilan agama.
Jalur peradilan yang diamanatkan oleh ayat (1) berbeda dengan peradilan yang
dimaksud pada perbankan konvensional. Peradilan yang dituju dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah adalah peradilan agama karena peradilan agama mempunyai
wewenang dalam mengadili dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Dalam
Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud
dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah,
pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah
dan bisnis syariah.
Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan
Syariah membuka kesempatan bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketanya diluar jalur peradilan agama, yaitu melalui jalur alternatif
penyelesaian sengketa ataupun peradilan umum. Hal ini dinyatakan secara tegas
dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bahwa :
Yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
1.
musyawarah;
2.
mediasi
perbankan;
3.
melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau
4.
melalui
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka selain melalui Pengadilan Agama, sengketa juga dapat diajukan ke
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum layaknya penyelesaian sengketa pada
umumnya, sehingga 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 49 huruf i dapat
diajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Adapun upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan jalan musyawarah antar
pihak yang bersengketa, dengan tujuan mendapatkan titik temu yang menguntungkan
para pihak dan disepakati bersama.
Upaya lain, yaitu melalui mediasi
perbankan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada PBI Nomor
10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan. Mediasi perbankan merupakan alternatif penyelesaian sengketa
perbankan yang terjadi antara nasabah dengan bank. Hasil mediasi merupakan
hasil kesepakatan antar pihak, yang diwadahi oleh Bank Indonesia. Seharusnya pelaksanaan
mediasi perbankan ini diwadahi oleh suatu lembaga mediasi perbankan tersendiri,
namun sampai saat ini belum terbentuk, sehingga fungsi mediasi perbankan untuk
sementara waktu tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Jalur lain sebagai alternatif
penyelesaian sengketa yang diperkenankan oleh UU Perbankan Syariah adalah
melalui arbitrase. Jalur ini diatur oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di
luar pengadilan. Namun secara spesifik, disebutkan bahwa penyelesaian sengketa
dapat diupayakan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lainnya. Hal ini sesuai dengan keadaan bahwa telah dibentuk
badan khusus untuk menangani sengketa bisnis syariah melalui jalur arbitrase,
yaitu Basyarnas.
Basyarnas adalah perubahan dari nama
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari
Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendiriannya
diprakarsai oleh MUI, tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal
21 Oktober 1993 M. BAMUI didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan. Kemudian
selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun BAMUI menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan
yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus BAMUI sudah banyak yang meninggal
dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah Gwendolyn Ingrid Utama: Perkembangan
Hukum Perbankan Syariah di Indonesia tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI
tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama “Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI)” diubah menjadi “Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas)” yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil Rakernas MUI pada
tanggal 23-26 Desember 2002.[16]
Basyarnas merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat
organisasi MUI. Fungsi Basyarnas adalah sebagai badan permanen dan independen
yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang
timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di
kalangan umat Islam.
Keberadaan BAMUI yang kemudian
menjadi Basyarnas merupakan titik terang bagi penyelesaian sengketa perbankan
syariah di luar pengadilan, dengan pertimbangan bahwa tanpa adanya badan ini
maka penyelesaian melalui arbitrase harus dilaksanakan oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI)[17]
ataupun badan arbitrase lainnya. Kehendak untuk menyelesaikan sengketa yang
mungkin timbul di kemudian hari, harus dinyatakan oleh para pihak dalam akad,
yaitu dengan mencantumkan klausula arbitrase seperti “Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para
pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Hal ini sesuai dengan amanat
dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Fatwa DSN-MUI)[18]
perihal hubungan muamalat (perdata) yang senantiasa diakhiri dengan ketentuan :
"Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah".Dengan adanya Fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut dimana setiap bank
syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus
mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi
antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka
penyelesaiannya harus melalui Basyarnas.
Basyarnas ialah lembaga hukum yang
bebas, otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan
pihak-pihak manapun sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan
perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah,
asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan
non muslim pun dapat memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan
mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. Lahirnya Basyarnas ini
menurut Mariam Darus Badrulzaman sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase
tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam
dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.[19] Dasar
hukum pembentukan Basyarnas[20]
adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003
tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Dalam rangka
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan,
jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam, Basyarnas berwenang[21] untuk:
a.
Menyelesaikan
secara adil dan cepat sengketa muamalat (perdata) yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lainlain yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa,
dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada
Basyarnas sesuai dengan Prosedur Basyarnas.
b.
Memberikan
pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa
mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjan.
Kewenangan
Basyarnas tersebut tidak lepas dari kebebasan memilih dari para pihak untuk
memilih forum penyelesaian sengketa (choice of forum). Hal ini sesuai dengan
penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah yang memberikan beberapa
alternatif forum penyelesaian sengketa, selain melalui jalur Pengadilan Agama.
Dengan demikian, meskipun kegiatan perbankan syariah berbasis pada hukum Islam
(prinsip syariah), namun tetap diberikan peluang bagi para pihak untuk
menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa di luar khasanah hukum Islam
sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dan prinsip-prinsip dalam
hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem perbankan nasional Indonesia
sejak awal sampai saat ini mengalami banyak perkembangan. Salah satu
perkembangannya ditandai dengan munculnya sistem perbankan baru, yaitu
perbankan syariah. Kemunculan perbankan syariah menambah sistem perbankan yang
sudah ada, yaitu perbankan konvensional, sehingga Indonesia menganut 2 (dua) sistem
perbankan. Prinsip bunga pada sistem perbankan konvensional yang tidak sesuai
dengan prinsip dalam hukum Islam, menjadi latar belakang terbentuknya perbankan
berdasarkan prinsip syariah. Perbankan syariah telah diakui oleh UU Perbankan
pada tahun 1992 dengan memberikan peluang bagi bank untuk menjalankan
kegiatannya berdasarkan prinsip bagi hasil, yang kemudian dipertegas dengan UU
Perbankan tahun 1998 dengan merubah beberapa bagian pada isi UU Perbankan tahun
1992 mengenai prinsip syariah.
Pengakuan terhadap perbankan syariah
ditegaskan juga dengan terbentuknya BAMUI sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa perbankan syariah pada tahun 1993. Kemudian pada tahun
2003, BAMUI diganti menjadi Basyarnas karena beberapa alasan efektifitas. Badan
yang bebas, otonom dan independen ini berwenang dalam menyelesaikan sengketa muamalat
(perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan
lain-lain melalui upaya arbitrase. Selain itu, Pengadilan Agama menjadi forum
penyelesaian sengketa yang ditunjuk untuk mengadili dan menyelesaikan perkara
ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perbankan.
Perkembangan pengaturan mengenai
perbankan syariah terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
sebagai perubahan pertama; dan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kemudian pada pada tahun 2008 akhirnya disahkan UU Perbankan Syariah yang merupakan
wujud dari urgensi kebutuhan peraturan perundang-undangan tentang perbankan
syariah dan pada tahun 2009 disahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 sebagai
perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
merubah beberapa ketentuan mengenai pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Sampai
saat ini, perbankan konvensional dan perbankan syariah di Indonesia bertumbuh
bersama seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan masyarakat.
B.
Saran
Sebagai mahasiswa, khusunya mahasiwa perbankan
Syari’ah hendaknya mempelajari lebih mendalam
mengenai hukum bisnis yang bada di indonesia.
C.
Penutup
Demikianlah
makalah yang kami buat, kami mohon kritik dan sarannya karena masih banyak
kekurangan dalam makalah ini baik dari segi isi maupun susunannya. Semoga dapat meemberikan manfaat dan tambahan
ilmu bagi pembacanya. AMIN
Daftar Pustaka
UU Nomor 10 Tahun 1998
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kenaca, 2007)
(“H.M. Daud Ali, Asas-asas Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintan, 1983)
“T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengantar
Fiqih Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
UU Nomor 21 Tahun 2008
http://www.bankmuamalat.com/index.php/home/produk/debitor_faq
28 Sept 2016
Dian Ediana Rae, “Arah Perkembangan
Hukum Perbankan Syariah” Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 6
Nomor 1, April 2008
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57:sejarah-basyarnas&catid=41:tentang-basyarnas&Itemid=60
http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama”
[1] Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, Pasal 1 angka 1
[2]Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan
dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kenaca, 2007), hal. 43
[3] Ibid,
hal. 2
[4]Mukallaf
adalah orang yang telah mencapai tinfkat kedewasaan sehingga dipandang sebagai
cakap bertindak dalam hukum menurut Hukum Islam. (Ibid)
[5]Ijtihad
berasal dari kata “jahada” dalam bahasa Arab yang berarti sungguh-sungguh. Dalam
terminologi hukum ialah usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap
kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (“H.M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam (Jakarta:
Bulan Bintan, 1983), hal. 74” dalam Ibid, hal. 7)
[6] Ibid,
hal. 4
[7] “T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengantar Fiqih
Muamalah (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 21” dalam Ibid, hal. 11
[8] Ibid,
hal. 19-20
[9] Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1
angka 12
[10] Ibid,
Pasal 1 angka 13
[11]
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 1
[12] Ibid,
Pasal 1 angka 7
[14] Iibd,
Pasal 1 angka 8 dan 9
[15]Dian Ediana Rae, “Arah Perkembangan Hukum
Perbankan Syariah” Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 6 Nomor
1, April 2008
[16]“SejarahBasyarnas”, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57:sejarah-basyarnas&catid=41:tentang-basyarnas&Itemid=60, 28 September 2016
[17] BANI adalah lembaga independen yang memberikan
jasa beragam yang berhubungan dengan
arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
(http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html)
[18] Terdapat 41 (empat puluh satu) fatwa tentang
perbankan syariah
[19] “Sejarah Basyarnas”, loc.cit
[20] H. Abdul Manan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” Makalah disampaikan pada acara
Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40, Kampus Yarsi –
Jakarta: Rabu, 7 Februari 2007, hal. 23-24
[21] Ibid,
hal. 24
0 Response to "Eksistensi Perbankan Indonesia"
Posting Komentar