BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultural
terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural
maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Indonesia negara dengan beragam
sukubangsa, bahasa, agama dan perbedaan sosial lainnya.[1]
Keberagaman ini membuat Indonesia menjadi negara
yang kaya akan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sehingga
kebudayaan nasional Indonesia menjadi sebuah kebudayaan yang merupakan
perpaduan dari beragam budaya bangsa Indonesia.
Kesadaran akan keragaman bangsa Indonesia dalam
beberapa dekade terakhir ini terusik dengan adanya beberapa persitiwa yang
mencerminkan anti keragaman. Kerusuhan Mei 1998, misalnya, memunculkan kembali
dikotomi pribumi dan non-pribumi (terutama etnis Cina). Berbagai konflik lain seperti
yang terjadi di Ambon, Poso, Madura dan Bogor, seolah mempertanyakan kembali
komitmen bangsa Indonesia untuk mengakui keberagaman dan hidup dalam keragaman.
Tidak hanya di Indonesia, konflik atas dasar perbedaan latar belakang juga
terjadi di negara-negara lain. Konflik di Kashmir, Sudan dan Suriah adalah
beberapa contoh bahwa konflik dengan latar belekang perbedaan kelompok sosial
juga terjadi di banyak negara. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika dan
Inggris juga tidak terlepas dari konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi
oleh perbedaan sosial, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Di samping itu,
di berbagai negara juga terjadi diskriminasi terhadap kelompok-kelompok
minoritas yang menyebabkan mereka teralienasidari lingkungan sosial mereka.
Salah satu contohnya adalah diskriminasi yang pernah dialami olehkaum kulit
hitam di Amerika dan Eropa.
Sehingga meminimalkan kasus konflik akibat perbedaan
sosial, maupun diskriminasi atas kelompok minoritas. Inilah yang kemudian antara
lain melahirkan berbagai kebijakan dan teori multikultur.
Multikulturalisme merawat Kamajemukan migrasi antara
wilayah, bahkan negara, merupakan hal yang lazim terjadi sejak dahulu kala. Perindahan
tersebut memungkinkan terjadinya pertemuan antara orang-orang yang berbeda
latar belakang sosial, budaya dan keyakinannya. Pada masa modern, di mana
transportasi darat, laut dan udara semakin maju, migrasi penduduk semakin tak
terbatas. Daerah-daerah atau negara-negara yang ekonominya lebih baik dari yang
lain menjadi tujuan migrasi penduduk pada prinsipnya, pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan
tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi
inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya
yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.
1.2 Rumusan
Masalah
A.
Apa pengertian dan sejarah pendidikan multikultural ?
B.
Bagaiman paradikma dan pendekatan pendidikan
multikultural ?
C. Bagaiman Wacana Pendidikan Multikultural di
Indonesia dan Pendidikan Global ?
1.3 Tujuan Penelitian
A. Supaya
Mahasiswa mengetahui pengertian sejarah pendidikan multikultural.
B. Supaya
Mahasiswa mengetahui paradikma dan pendekatan pendidikan multikultural.
C. Supaya
Mahasiswa mengetahui Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia dan
Pendidikan Global.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
Multikultural berasal dari dua kata yaitu Multi dan
Kultul, multi artinya banyak dan kultul artinya budaya.
Menurut para ahli :
A. Gibson (1984) mendefinisikan
bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu
individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem
budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
B. Ekstrand
dan Driel yaitu konsep pendidikan yang memberi kesempatan yang setara kepada
semua peserta didik.[2]
C. Prudence Crandall mengemukakan bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara
sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman
suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih
singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural
adalah pedidikan mengenpai keragaman budaya.
D. Menurut James. A. Banks pendidikan
multikultural adalah konsep atau ide sebagai rangkaian kepercayaan dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis
dalam membentuk gaya hidup pengalaman sosial identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.[3]
E. Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan,
Pendidikan Multikulturalis adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan
jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan
kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
F. Azyumardi Azra mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan.
G. Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman
budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
H. Hilda Hernandez pendidikan
multikultural sebagai prespektif yang mengakui realitas politik,sosial,dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang
kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas, agama, gender, etnisitas, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
I. Paulo Freire, pendidikan bukan
merupakan “ menara gading “ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan menurutnya harus mamapu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik
dan berpendidikan, buka sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise
sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialami.
J. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Multikultural adalah berbagai macam status social budaya meliputi latar
belakang, tempat, agama, ras, suku dll.
Jadi pendidikan multikultural adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari
tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Untuk membentuk warga negara yang berpendidikan
multikultural tidaklah mudah, banyak tahap dan prosedur yang harus dilaksanakan
dalam membentuk masyarakat yang berpendidikan multikultural Indonesia, antara
lain:
1) Menyiapkan materi atau kurikulum
pelajaran yang mengagungkan perbedaan budaya.
2) Menyiapkan kurikulum yang mempelajari
tentang budaya suku lain mulai dari tari tradisional, sastra, hasil kerajinan
suku lain di Indonesia dan lain-lain.
3) Menyiapkan kurikulum yang tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
4) Menyiapkan materi yang berasaskan nilai
moral untuk menanamkan sikap menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan
lain.
5) Membangun monumen maupun museum disetiap
daerah untuk dijadikan penelitian budaya daerah tersebut dan dapat dijadikan
tambahan bahan acuan materi pelajaran.
6) Membuka lapangan kerja seluas-luasnya
untuk memproduksi hasil kerajinan tangan yang menjadi ciri khas budaya daerah.
7) Pemerataan pendidikan multikultural
untuk sekolah baik dari lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta bahkan
untuk sekolah-sekolah internasional yang mempunyai kurikulum sendiri yang
mengacu pada kurikulum negara lain.
8) Pemerataan pendidikan multikultural bagi
seluruh lapisan masyarakat tanpa meliat status sosialnya.
9) Mengembangkan potensi peserta didik
untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan sosial budaya dengan kemajuan
IPTEK.
10) Mempercepat proses hak paten semua hasil
kebudayaan agar tidak diklain negara lain dan sebagainya.
11) Pendidikan multikultural harus
menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif
banyak orang.
12) Pendidikan multikultural harus
didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran
sejarah.
13) Kurikulum dicapai sesuai dengan
penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang
berbeda-beda.
14) Pendidikan multikultural harus mendukung
prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya
dan agama.
15) Pendidikan multikultural mencerminkan
keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu
untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka
sendiri.
Hal-hal seperti diatas tidak lepas dari campur
tangan pemerintah RI agar dapat berjalan lancar dan membawa hasil positif dan
dapat membawa dampak yang baik (kemajuan) bagi bangsa.
Secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu :[4]
a. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya,
maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemapuan, kemauan, dan
sebagainya.
b. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke
arah dewasa.
c. Peserta didik mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda.
d. Peserta didik melakukan penjelajahan
terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara
individual.
2.2 Sejarah Pendidikan Multikultural
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai
sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada
interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya
akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang
tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika
dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di
lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.
Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena
bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga
pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin
kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua.
Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan
multikultural.
Secara generik, pendidikan multikultural memang
sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang
pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan
kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural
adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin
pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi,
negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta
sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan
pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan
yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis
dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya,
di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga
memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama
serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan
keputusan secara demokratis.
2.3 Paradigma Pendidikan Multikultural
Ali maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajuan bangsa
Indonesia dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu : horizontal, kemajemukan
bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis,
pakaian, makanan, dan budaya. Vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat
dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat
sosial budaya. [5].
Pakar pendidikan, Syarif Sairin ( 1992 ), memetakan
akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk :[6]
a.
Perebutan
sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi.
b.
Perluasan
batas-batas sosial budaya.
c.
Benturan
kepentingan politik, ideologi, dan agama.
Pendidikan
multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri :
a. Tujuan membentuk “ manusia budaya “ dan
menciptakan “ masyarakat berbudaya “.
b. Materinaya mengajarkan nilai-nlai luur
kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis.
c. Metodenya demokratis, yang menghargai
aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
d. Evaluasinya ditentukan pada penilaian
terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan
tindakan terhadap budaya lainnya.
2.4 Pendekatan Pendidikan Multikultural
Men-design pendidikan
multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok,
budaya, suku, dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengamdung tantangan yang
tidak ringan.
Ada beberapa pendekatan dalam
proses pendidikan multicultural :
a. Tidak lagi menyamakan
pandangan pendidikan dengan persekolahan,atau pendidikan multikultural dengan
progrma-program sekolah formal.
b. Menghindari pandangan
yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
c. Interaksi insentif
dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi maka dapat dilihat lebih jelas
bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang tyerpisah secraa etnik
merupakan antietnis terhadap tujuan pendidikan multikultural.
d. Pendidikan multiltural
meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
e. Kemungkinan bahwa
pendidikan meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
2.5 Pendidikan Berbasis Multikultural
Hilda Hernandez, telah diungkapkan dua definisi
‘klasik’ untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para
pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai prespektif yang
mengakui realitas politik,sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing
individu dalam pertemuan manusia yang ko pleks dan beragam secara kultur.
Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dan [pengecualian-pengecualian dalam
proses pendidikan.
2.6 Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional berakhir
sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan “ monokulturalisme “
yang nyaris seragam memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif
bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.
2.7 Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global
Pendidikan multikultural berarti menegmbangkan
kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Dengan demikian
pendidikan global tidak mengurangi pengembangan kesadaran akan kebanggaan
terhadap suatu bangsa. Dalam pendidikan multikultural dapat diidentifikasikan
perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain
dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia global. James Banks
mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau
cultural identity :
a.
Ethnic
psychological captivy.
b.
Ethnic
encapsulation.
c.
Ethnic
identifities clarification.
d.
The
ethnicity.
e.
Multicultural
ethnicity.
f.
Globalisme
2.8 Menuju Multikulturalisme Global
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan
sejarah di mana budaya-budaya bangsa begitu majemuknya, sehingga
monokulturalisme, buday tunggal, tidak mungkin menjadi agenda sebuah negara
bangsa untuk dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain.[7]
Pengertian budaya di sisni tidak terbatas dalam
seni, tapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas
: agama, ideologi, sistem hukum,sistem
pembangunan, dan sebagainya.
2.9 Tujuan Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sangat penting bagi warga
Negara Indonesia karena pada Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita
betapa paradigma pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan
spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada
peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang
berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai
orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman
semangat multikultural di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,
etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar
proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika
pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga
pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta.
Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu
concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.[8]
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari
pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih
jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan
atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti
inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang
agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan
uniformitas global.
2.10 Pendidikan Multikultural Dalam Islam
Pendidikan Multikultural dalam Islam Dalam Islam,
pendidikan multikultural menemukan pijakannya dalam piagam madinah. Piagam ini
menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat. Piagam ini juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin
menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Pijakan multikultural
juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah S.A.W. Ia seorang
manusia multikultural. Ia sangat menghormati hak asasi manusia dan menjunjung
tinggi perbedaan, seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti
Uskup Sidon Paul of Antioch , Theodore Abu Qurrah , Kenneth Cragg, dan beberapa
sarjana barat, seperti William Muir , dan Montgomery Watt. Kenyataan bahwa
Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi pijakan multikultural, secara
tidak langsung menjelaskan al-Quran sebagai muara pijakan tersebut. Hal ini
karena dua alasan. Pertama, Piagam Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan
hidup bermasyarakat karena dukungan ayat-ayat Madaniyah. Kedua, ada keterangan
yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Quran. Artinya, kedua alasan
ini menegaskan bahwa pijakan pendidikan multikultural dalam Islam adalah
al-Quran.[9]
Dalam Al qur’an surat Al Hujuraat ayat 13 Allah
berfirman yang artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Jadi orientasi dari pendidikan multikultural islam
ialah tertanamnya sikap simpati, respek, apresiasi (menghargai), dan empati
terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa
kita di sisi Allah. Karena Allah tidak melihat darimana ia berasal, seberapa
tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa
kuat badannya, tapi yang dilihat Allah ialah seberapa besar tingkat taqwanya.
Untuk mewujudkan pendidikan multikultural islam
ditempuhlah berbagai cara, diantaranya:
a. Pendidikan Islam
multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati budaya global.
Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui adanya realitas budaya lokal
sebagai sesuatu yang bisa mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga
tidak menafikan budaya global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam.
Ketika kedua budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan
tengah untuk “mendamaikan” keduanya.
b. PIM mencoba mensiasati problem-problem
pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait
dengan maraknya benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan
bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan
ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat
kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN.
Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap
menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan
pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu
penentu kelulusan.
c. PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai
musuh tapi sebagai penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM
sebagai jalan tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu
pendukung globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai
fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika globalisasi, di
satu sisi, mendorong penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan, dan di
sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi moralitas anak terus dipegang
erat oleh masyarakat di perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang
dengan mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan dan
mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Quran dan ilmu-ilmu agama lain di
perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang
moralitas menjadi semakin tinggi.
d. PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata
sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya
menerima perbedaan tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam cara
bertindak. Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada era modernisme
itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan
yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas gagasan, maka PIM
ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah masyarakat Indonesia bisa menerima
seorang presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk
melakukan perubahan terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran
utama seorang presiden tersebut bukan didasarkan pada latar belakang agama,
namun pada tingkat kemampuan memajukan masyarakat.
e. PIM “melawan” keinginan pemerintah,
tokoh pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan penyeragaman dalam
pendidikan. Ini bisa sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman
proses pembelajaran di setiap sekolah.Rumusan kelima ini memerlukan keberanian
dan energi yang lebih untuk “melawan” kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak
pro rakyat.
f. PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan
memberikan pemahaman bagaimana seharusnya menghadapi perbedaan tersebut.
Rumusan terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan
dan bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan
pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menuju pendidikan Islam
multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan arah multikultural dari
semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua,
guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut Aurobindo (seorang filosof Hindu
Mutakhir) harus berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak pada
supermind, yaitu :
a. Keesaan Tuhan direalisasikan
melalui keragaman.
b. Setiap individu selaras
dengan nilai-nilai universal.
c. Kehendak individu
direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis.
Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep
pendidikan pembebasan yang mendorong usaha penyadaran manusia tentang realitas
dirinya. Paulo Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan menggarap realitas
manusia, maka secara metodologis, ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan
refleksi yang dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian mengubah
realitas, dan di sisi lain-yang ia sebut sebagai refleksi-terus menerus
menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas tersebut.
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan
pendidikan Islam multikultural. Kedua hal ini bersipat konseptual dan
metodologis, yang nanti bisa dikembangkan dan diturunkan menjadi
langkah-langkah praktis, yaitu :
a. Birokrat pendidikan,
guru, dan siswa harus mampu mengakses informasi tentang isu-isu multikultural,
baik dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga mereka tumbuh
menjadi seorang figur multikultural. Mereka harus aktif membaca buku dan
mengikuti perkembangan informasi lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan
menjadi seorang figur multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk
hukum pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka
tumbuh menjadi figur multikultural, maka proses pengaran dan pembelajaran pun
akan memuat nilai-nilai multikultural.
b. Kegiatan multikultural
adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh karena itu, siswa harus diberikan
penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari kegiatan yang mereka lakukan
tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan dihadapkan pada kesadaran spiritual.
Sebagai contoh guru mengajak diskusi tentang pentingnya membersihkan
lingkungan, menghormati orang yang berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton
film atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ia menjelaskan bahwa ketiga hal tersebut merupakan. bagian dari nilai-nilai
multikultural dan refleksi dari ibadah kepada Tuhan.10.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
A. Pengertian pendidikan multikultural
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah
yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar
tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman
budaya.
B. Sejarah Pendidikan
Multikultural sebagai
sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada
interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
C. Kemajuan bangsa Indonesia dapat dilihat
dari dua prespektif, yaitu : horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat
dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan
budaya. Vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat
pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
D. Tujuan-tujuan pendidikan multikultural untuk membangun kohesifitas,
soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan
kebutuhan dimembantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang
berbeda suku, budaya dan nilai kepribadianmenjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,
etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
E. Pendidikan multikultural Islam
mengapresiasi manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi jasmani, akal, dan
ruhani. Ketiga potensi inilah yang mampu menumbuhkan seorang siswa menjadi
manusia yang sukses di dunia dan di akhirat. Multikultural adalah sebuah jalan
tengah atau siasat yang digunakan untuk “membaca” kenyataan adanya perbedaan
dan keragaman. Pendidikan multikultural berangkat dari kenyataan adanya
perbedaan dan keragaman tersebut. Oleh karena itu, substansi pendidikan
multikultural adalah untuk mengapresiasi perbedaan dan keragaman tersebut. Jadi pendidikan
multikultural dalam islam yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian
didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status
sosial, ras, suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi
masalah-masalah keberagaman budaya yang disesuaikan dengan nafas islam sebagai
sarana kita dalam mendekatkan diri pada Allah menuju makhluk yang mulia yaitu
taqwa.
3.2
Saran
Saran untuk mahasiswa, agar lebih mendalami tenteng pendidikan
multikultural dan semoga dengan adanya pembahasan diatas dapat membantu
mendidikan, adapun kritik dan saran selalu kami tunggu.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, tentunya
banyak kekurangan dan kelemahan kerene terbatasnya pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra ,Azyumardi, 2000. Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Choirul,Mahfud,2011.Pendidikan
Multikultural,Bandung: penerbit pustaka pelajar.
Hartono, Yudi & Dardi Hasyim, 2003, Pendidikan
Multikultural di Sekolah.Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan UNS.
Hilmy. 2003.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme Jurnal Ulumuna.Mataram: STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12 (Juli-Desember)
James Banks. 1993. Multicultural Education:
Historical Development, Dimension, and Practice,USA: Review of Research in
Education.
Kameliaq.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-multikultural.html
Mashadi ,Imron, 2009. Pendidikan Agama Islam Dalam
Persepektif Multikulturalisme. Jakarta :Balai Litbang Agama
Musa Asy’ari,2004.Pendidikan Multicultural dan
Konflik Bangsa,Yogyakarta:
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546)
Undang-undang RI no 20 thn 2003. Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Jogjakarta: Media Wacana.
http://pendidikanmultikulturalku.blogspot.com/
diakses 14 Desember 2014
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2014/04/konsep-pendidikan-multikulturalisme.html diakses 14 Desember 2014
[1] http://www.academia.edu/4391737/Urgensi_Pendidikan
Multikultural diakses tangga 15 Desember 2014
[3] James Banks, 1993. Multicultural
Education: Historical Development, Dimension, and Practice,USA: Review of
Research in Education
[4]
Yudi Hartono, Dardi Hasyim, 2003. Pendidikan Multikultural di Sekolah.Surakarta:
UPT penerbitan dan percetakan UNS.
[5] Musa Asy’ari,2004.Pendidikan
Multicultural dan Konflik Bangsa,Yogyakarta:
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546)
[6]
Hilmy, 2003, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Jurnal Ulumuna. Mataram: STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12 (Juli-Desember)
[7]http://manusiapinggiran.blogspot.com/2014/04/konsep-pendidikan-multikulturalisme.html diakses 14 Desember 2014
[8] Undang-undang RI no
20 thn 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Jogjakarta:
Media Wacana.
[9] Mashadi ,Imron, 2009. Pendidikan
Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Jakarta :Balai Litbang
Agama.
0 Response to "Pendidikan Multikulturalisme"
Posting Komentar